Pondok Pesantren Salafiyah An-Nafi’iyah Kemayoran

Wajibkan Santri Mengeyam Pendidikan di Sekolah Formal

Secara fisik, bangunan pondok pesantren (ponpes) yang satu ini tidak terlalu megah. Namun sejumlah alumninya banyak yang menjadi orang penting. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang mengabdi pada negara. Semisal berprofesi sebagai dosen.

Tidak sulit untuk bisa menuju lokasi ponpes ini. Karena memang letaknya cukup strategis, yaitu persis di belakang kawasan Pasar Senenan Bangkalan. Tepatnya di jalan KH. Moh. Yasin no. 16 Kelurahan Kemayoran, Bangkalan.

Di situlah ponpes dengan nama An-Nafi’iyah ini berdiri. Ponpes yang didirikan oleh Kiai Mas’ud bin Abdur Razak sejak tahun 1969 ini, kini dikelola oleh menantunya. Yaitu KH Saifurrohman Syafii, suami dari anak keempatnya yang bernama Siti Aminah.

Diceritakan oleh KH Saifur -sapaannya, mulanya ponpes ini hanyalah sebuah madrasah umum saja. Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya santri yang dititipkan oleh orang tuanya, mau tidak mau membuat para pengurus madrasah melebarkan sayapnya. "Memang awalnya cuma madrasah. Tapi karena makin banyak titipan-titipan (santri) itu, jadi kita kembangkan menjadi ponpes," terangnya saat dijumpai di rumahnya kemarin sore.

Hingga kini, tidak kurang dari 100 santri-santriwati tercatat sebagai penghuni ponpes ini. Umumnya mereka berasal dari warga sekitar pondok. Namun beberapa di antara mereka ada juga yang berasal dari Pulau Jawa. "Dulu santri kami banyak. Sekarang ya tinggal segitu (100-an). Soalnya banyak yang merantau ke luar Madura, bahkan luar negeri," tukas alumni Ponpes Nurul Jadid, Paiton ini.

Bagaimana dengan aktivitas keseharian di ponpes? Dijelaskan oleh KH Saifur, aktivitas di ponpesnya tidak berbeda dengan umumnya ponpes yang ada di Madura. Mulai dari mengaji Alquran, mengaji kitab kuning sampai kajian ilmu fiqih.

Namun, jika sore hari pihaknya membebaskan santrinya untuk melakukan aktivitas yang dirasa akan menghilangkan kejenuhan. Semisal berolahraga dan berjalan-jalan di sekitar kawasan Pasar Senenan. "Mereka kan juga butuh hiburan. Asal tidak bertentangan dengan syariat Islam saya perbolehkan. Kalo nggak begitu bisa-bisa santri banyak yang nggak betah," sambungnya sambil tertawa.

Selain itu, pihaknya juga memberikan waktu liburan yang cukup panjang kepada santrinya. Terutama saat perayaan Maulid Nabi dan memasuki bulan suci Ramadan. "Bahkan, saking senangnya liburan, kadang-kadang ada santri yang terlambat kembali ke ponpes."

Diimbukan oleh pria berusia 50 tahun ini, tidak jarang santri lulusan (alumni) ponpesnya yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemkab Bangkalan. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang sudah menjadi dosen. Baik dosen di perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta. Semisal Unijoyo dan STAIN Pamekasan.

Memang, syarat untuk bisa menjadi santri di ponpes ini, santri tersebut harus sudah mengeyam pendidikan di sekolah formal. Minimal SD atau setara dengan paket A.

Namun, umumnya para alumni tersebut lebih banyak yang merantau serta kembali ke kampung halamannya. Yang setelah itu mereka mendirikan ponpes di daerah masing-masing yang menjadi tujuannya.

Ke depan, bapak enam anak ini berharap agar kelak santri-santrinya dapat membantu dan berguna bagi masyarakat. Seperti beberapa yang telah dicontohkannya tadi. Sehingga, ilmu yang mereka terima selama di ponpes tidak menjadi ilmu yang mudharat. "Bukan hanya berguna bagi agama saja," ucapnya singkat.

Ditanya bagaimana peran pemerintah dalam perkembangan ponpes di Bangkalan, pria enam bersaudara ini mengaku belum bisa menilai hal tersebut. Namun, dalam pandangannya kini sudah cukup bagus.

"Yang jelas harus selalu ada peningkatan, terutama pemberian bantuan," pungkas pria asli Klampis Bangkalan ini. (ADITIA GILANG RHAMADHANI)

Sumber: Jawa Pos, 15/02/08

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda